Jumat, 21 Maret 2014

Penindasan Hukum Oleh Hukum Negara Terhadap Hukum Masyarakat



Oleh: Cipto Prayitno

“Ubi Societas ibi ius” (Cicero)
Pembicaraan dalam tulisan ini ada dimulai dari kita membahas mengenai hukum secara esensial yang oleh Cicero disederhanakan dalam adagiumnya yaitu ubi societas ibi ius (dimana ada masyarakat disitu ada hukum).

Hukum Masyarakat
Masyarakatlah yang menjadi awal penentu kehadiran hukum sebagai alat ketertiban sosial, pengatur tatanan kehidupan pamrih masyarakat, ataupun sebagai alat pengekang kebebasan individu didalam masyarakat agar tidak berbuat seenaknya dan berbuat sesuai dengan yang telah disepakati.[1] Pandangan ini dapat dibenarkan ketika secara ringkas kita misalkan dalam hutan hidup seorang manusia saja kita anggap A, entah apa yang akan ia perbuat dan ia lakukan adalah menjadi hal yang tidak dipermasalahkan karena memang tidak ada individu lain didalam hutan tersebut. Namun berbeda halnya ketika telah muncul manusia lain kita angap B didalam hutan tersebut yang mengawali kemunculan masyarakat dengan segala permasalahannya, maka jelaslah manusia pertama A dan B akan melakukan interaksinya sesuai dengan kebutuhan mereka, dan yang semula A dapat berbuat seenaknya dan semaunya dengan kehadiran B, A tidak akan bisa berbuat semaunya dan seenaknya karena kebebasan yang dimiliki oleh A akan selalu berbenturan dengan kebebasan yang dimiliki oleh B. Nah, posisi disinilah muncul hukum yang akan mengatur hubungan antara A dan B agar ada ketertiban dalam hubungan sosial mereka. Jelaslah hukum yang ada dalam hubungan sosial antara A dan B adalah hukum yang muncul atas kehendak sadar atau tidak sadar A dan B dengan berdasarkan kesepakatan yang baik sadar maupun tidak mereka sepakati (kesepakatan dalam penentuan hukum antara A dan B adalah bentuk keadilan dalam hukum A dan B).
Perkembangan hubungan sosial antara A dan B pun menjadikan hukum yang digunakan untuk mengatur antara A dan B pun akan berkembang menyesuaikan dengan kondisi hubungan A dan B. Misal pada awal pergaulan A dan B adalah pergaulan layaknya masyarakat yang bersifat tradisional dengan permisalan A dan B adalah petani tradisional, maka hukum yang ada pun adalah hukum yang berkaitan dengan kehidupan petani yang tradisional pula (bukan hukum nelayan ataupun hukum industri, karena A dan B tidak bekerja dalam bidang tersebut). Namun dengan berkembangannya pemikiran mereka, yang awalnya hanya petani tradisional dengan bekerja menggunakan alat-alat manual menjadi petani modern dengan alat-alat yang modern pula, maka hukum yang ada-pun akan berkembang menjadi hukum yang bersifat modern dengan tetap mengatur hubungan pertanian antara A dan B. Perkembangan hukum yang muncul seiring dengan perkembangan hubungan sosial antara A dan B pun adalah hukum yang oleh A dan B kehendaki sadar atau tidak.
Perkembangan hukum didalam masyarakat sangat terpengaruh oleh bagaimana keadaan atau kondisi sosial masyarakatnya, konstruksi tersebut berakar pada hubungan individu satu dengan individu lainnya yang mempengaruhi hukum yang berasal. Sehingga konstruksi hukum adalah bermula pada kesepakatan (sadar atau tidak sadar) antara individu satu dengan individu lainnya atau kesepakatan masyarakat (dalam konteks yang lebih luas). Dengan munculnya kesepakatan tersebut baik dengan sadar ataupun tidak menandai telah muncul adanya hukum didalam masyarakat tersebut. Ketika hukum yang ada adalah tidak berawal dari sebuah keseapakatan, maka yang terjadi adalah pemaksaan dengan kekuasaan hukum sepihak. Misal A membuat hukum untuk A & B dengan tanpa kesepakatan B, maka A dalam menerapkan hukum ke B adalah sebagai sebuah pemaksaan hukum atau penindasan hukum.
Yang selanjutnya setelah ada konstruksi kesepakatan dan terbentuk hukum, maka yang selanjut muncul adalah kekuasaan hukum. Dimana hukum punya kekuasaan untuk membatasi tindakan para individu didalam masyarakat yang terikat oleh hukum tersebut. Kekuasaan yang dipaksakan kepada salah satu anggota atau individu ketika ada pelanggaran hukum, tidak bisa dianggap sebagai penindasan atau pemaksaaan. Karena kekuasaannya pun  berasal dari kesepakatan individu tersebut dengan masyarakat lainnya.
Demikianlah yang penulis maksud sebagai hukum yang esensial yang memang muncul dalam kehidupan masyarakat (selanjutnya disebut sebagai hukum masyarakat, dengan tahapan kesepakatan à hukum à kekuasaan hukum untuk menerapkan hukum) dan yang selanjutnya akan digunakan sebagai landasan berpikir dalam perdebatan selanjutnya. 


Intervensi Negara dalam Masyarakat
Hubungan masyarakat yang secara sederhana dalam tulisan ini digambarkan dalam hubungan A dan B telah mempengaruhi corak hukum dalam masyarakat tersebut. A dan B yang akan semakin berkembang dalam hal kehidupan sosialnya akan terus mempengaruhi hukum yang ada dalam kehidupan masyarakat A dan B. Hingga pada akhirnya muncul suatu lembaga yang disebut sebagai negara, yang melalukan intervensi dalam kehidupan pegaulan individu dengan individu dalam masyarakat dan hubungan antar masyarakat.
Kemunculan negara[2] sebagai bentuk intervensi dalam masyarakat ada dua kemungkinan, yang pertama adalah negara yang dikehendaki oleh beberapa kelompok masyarakat itu sendiri sebagai lembaga yang akan digunakan untuk mengatur hubungan individu satu dengan individu lain dalam masyarakat dan mengatur hubungan antar masyarakat didalam negara tersebut. Yang kedua adalah negara dengan kemunculannya tanpa kehendak dari beberapa kelompok masyarakat, semisal negara dengan bentuk monarki absolut yang kemunculannya hanya dari segelintir orang. Dengan kekuatannya, orang yang nantinya aka memimpin melakukan sebuah tindakan penjajahan dengan kekuatannya untuk memaksakan kepada masyarakat hingga akhirnya terciptalah sebuah negara yang tidak dikehendaki oleh beberapa kelompok masyarakat tersebut.


Munculnya Hukum Positif Negara
Terkait dengan hubungan antara masyarakat dan negara dalam hal ini juga ternyata ada sebuah hukum yang mengatur didalamnya yang kita sebut sebagai hukum negara atau hukum positif dalam sebuah negara, yang mana ini senyatanya digunakan untuk mengatur hubungan individu dengan individu didalam masyarakat dan antar masyarakat di dalam negara dan hubungan masyarakat dengan negara pula. Sebagaimana kemunculan hukum yang telah dibahas diatas (yang berawal dari adanya hubungan masyarakat atau dua individu atau lebih), maka seharusnya pula hukum sebagai pengatur hubungan didalam kehidupan bernegara berawal dari kehendak negara dan kehendak masyarakat yang nantinya akan mencerminkan keadilan. Yang artinya pula seharusnya dalam penetuan hukum negara ini adalah berangkat dari hubungan sosial antara negara dan masyarakat (gejala sosial) baik secara sadar atau tidak sadar yang juga hukum ini adalah dikehendaki oleh negara dan masyarakat.[3] Yang artinya pula kedudukan antara negara dan masyarakat harus mempunyai kedudukan yang sama dan tidak saling menindas, agar hukum yang tercipta bukanlah sebuah bentuk hukum yang menindas dan dikehendaki oleh kedua belah pihak (negara dan masyarakat).
Namun dalam kenyataannya negara selalu mempunyai kedudukan dan kekuatan yang lebih besar dari pada masyarakatnya. Sehingga sangat mungkin terjadi penindasan hukum oleh negara terhadap masyarakat yaitu adanya pemaksaan  kehendak negara terhadap kehendak masyarakat untuk mengikuti hukum yang telah dibuat secara sepihak oleh negara dengan tujuan mempertahankan status quo negara terhadap masyarakat. Hal inil adalah pengingkaran terhadap esensi hukum yang telah dibahas diatas, yaitu hukum berasal dari kesepakatan (sadar atau tidak sadar).



[1] Dalam pandangan Marxis, ekonomi adalah sebagai Basic Structur dan hukum (salah satunya) adalah sebagai Supra Structur didalam perkembangan masyarakat. Jelaslah bahwa hukum sebagai Supra Structur dalam masyarakat akan mengikuti atau dipengaruhi oleh ekonomi sebagai Basic Structur didalam masyarakat tersebut.
[2] Mengenai kemunculan negara secara fakta dan pemikiran didalm buku Ilmu Negara yang ditulis oleh Soehino tidak secara bersamaan, namun kemunculan negara secara fakta adalah mendahului dari pemikiran tentang negara.  Dalam Soehino, Ilmu Negara, 2008, Cet. Ke-8, Yogyakarta: Liberty, hal. 11.
Menurut G. Jellinek, terjadinya negara melalui 4 tahapan (Fase) yaitu : 1). Fase Persekutuan manusia, 2). Fase Kerajaan, 3). Fase Negara, 4). Fase Negara demokrasi dan Diktatur. Disadur dari  DimasTaufik, Asal Mula Terjadinya Negara Berdasarkan Fakta dan Teoritis, http://dhimastaufik.wordpress.com/2013/06/11/asal-mula-terjadinya-negara-berdasarkan-fakta-dan-teoritis/, diakses pada 18 Desember 2013.
Sedangkan dalam teori kenegaran terjadinya negara berdasarkan: 1). Teori Ketuhanan (Theokrasi), 2). Teori Kekuasaan, 3). Teori Perjanjian Masyarakat (Du Contract Sosial), 4). Teori Hukum Alam. Disadur dari  Asal Mula Terjadinya Negara, http://fisipunsil.blogspot.com/2013/05/asal-mula-terjadinya-negara.html, diakses pada 20 Desember 2013.
[3] Mengenai kemunculan hukum negara atau hukum positif negara akan dibahas lebih lanjut dalam bab selanjutnya tentang Sifat Preskriptif Hukum. Dan dalam bab ini akan dijelaskan mengenai kesalahan dalam postulat dasar penentuan hukum negara atau hukum positif negara.