Oleh: Cipto Prayitno
“Ubi Societas
ibi ius” (Cicero)
Pembicaraan dalam tulisan ini ada dimulai dari kita
membahas mengenai hukum secara esensial yang oleh Cicero disederhanakan dalam
adagiumnya yaitu ubi societas ibi ius (dimana
ada masyarakat disitu ada hukum).
Hukum Masyarakat
Masyarakatlah yang menjadi awal penentu kehadiran
hukum sebagai alat ketertiban sosial, pengatur tatanan kehidupan pamrih
masyarakat, ataupun sebagai alat pengekang kebebasan individu didalam
masyarakat agar tidak berbuat seenaknya dan berbuat sesuai dengan yang telah
disepakati.[1] Pandangan ini dapat
dibenarkan ketika secara ringkas kita misalkan dalam hutan hidup seorang
manusia saja kita anggap A, entah apa yang akan ia perbuat dan ia lakukan
adalah menjadi hal yang tidak dipermasalahkan karena memang tidak ada individu
lain didalam hutan tersebut. Namun berbeda halnya ketika telah muncul manusia
lain kita angap B didalam hutan tersebut yang mengawali kemunculan masyarakat
dengan segala permasalahannya, maka jelaslah manusia pertama A dan B akan
melakukan interaksinya sesuai dengan kebutuhan mereka, dan yang semula A dapat
berbuat seenaknya dan semaunya dengan kehadiran B, A tidak akan bisa berbuat
semaunya dan seenaknya karena kebebasan yang dimiliki oleh A akan selalu
berbenturan dengan kebebasan yang dimiliki oleh B. Nah, posisi disinilah muncul
hukum yang akan mengatur hubungan antara A dan B agar ada ketertiban dalam
hubungan sosial mereka. Jelaslah hukum yang ada dalam hubungan sosial antara A
dan B adalah hukum yang muncul atas kehendak sadar atau tidak sadar A dan B
dengan berdasarkan kesepakatan yang baik sadar maupun tidak mereka sepakati
(kesepakatan dalam penentuan hukum antara A dan B adalah bentuk keadilan dalam
hukum A dan B).
Perkembangan hubungan sosial antara A dan B pun
menjadikan hukum yang digunakan untuk mengatur antara A dan B pun akan
berkembang menyesuaikan dengan kondisi hubungan A dan B. Misal pada awal pergaulan
A dan B adalah pergaulan layaknya masyarakat yang bersifat tradisional dengan
permisalan A dan B adalah petani tradisional, maka hukum yang ada pun adalah
hukum yang berkaitan dengan kehidupan petani yang tradisional pula (bukan hukum
nelayan ataupun hukum industri, karena A dan B tidak bekerja dalam bidang
tersebut). Namun dengan berkembangannya pemikiran mereka, yang awalnya hanya
petani tradisional dengan bekerja menggunakan alat-alat manual menjadi petani
modern dengan alat-alat yang modern pula, maka hukum yang ada-pun akan
berkembang menjadi hukum yang bersifat modern dengan tetap mengatur hubungan
pertanian antara A dan B. Perkembangan hukum yang muncul seiring dengan
perkembangan hubungan sosial antara A dan B pun adalah hukum yang oleh A dan B kehendaki
sadar atau tidak.
Perkembangan hukum didalam masyarakat sangat
terpengaruh oleh bagaimana keadaan atau kondisi sosial masyarakatnya,
konstruksi tersebut berakar pada hubungan individu satu dengan individu lainnya
yang mempengaruhi hukum yang berasal. Sehingga konstruksi hukum adalah bermula
pada kesepakatan (sadar atau tidak sadar) antara individu satu dengan individu
lainnya atau kesepakatan masyarakat (dalam konteks yang lebih luas). Dengan
munculnya kesepakatan tersebut baik dengan sadar ataupun tidak menandai telah
muncul adanya hukum didalam masyarakat tersebut. Ketika hukum yang ada adalah
tidak berawal dari sebuah keseapakatan, maka yang terjadi adalah pemaksaan
dengan kekuasaan hukum sepihak. Misal A membuat hukum untuk A & B dengan tanpa
kesepakatan B, maka A dalam menerapkan hukum ke B adalah sebagai sebuah
pemaksaan hukum atau penindasan hukum.
Yang selanjutnya setelah ada konstruksi kesepakatan
dan terbentuk hukum, maka yang selanjut muncul adalah kekuasaan hukum. Dimana
hukum punya kekuasaan untuk membatasi tindakan para individu didalam masyarakat
yang terikat oleh hukum tersebut. Kekuasaan yang dipaksakan kepada salah satu
anggota atau individu ketika ada pelanggaran hukum, tidak bisa dianggap sebagai
penindasan atau pemaksaaan. Karena kekuasaannya pun berasal dari kesepakatan individu tersebut
dengan masyarakat lainnya.
Demikianlah yang penulis maksud sebagai hukum yang
esensial yang memang muncul dalam kehidupan masyarakat (selanjutnya disebut
sebagai hukum masyarakat, dengan tahapan kesepakatan à hukum à kekuasaan hukum untuk menerapkan hukum) dan yang
selanjutnya akan digunakan sebagai landasan berpikir dalam perdebatan
selanjutnya.
Intervensi
Negara dalam Masyarakat
Hubungan masyarakat yang secara sederhana dalam
tulisan ini digambarkan dalam hubungan A dan B telah mempengaruhi corak hukum
dalam masyarakat tersebut. A dan B yang akan semakin berkembang dalam hal
kehidupan sosialnya akan terus mempengaruhi hukum yang ada dalam kehidupan
masyarakat A dan B. Hingga pada akhirnya muncul suatu lembaga yang disebut
sebagai negara, yang melalukan intervensi dalam kehidupan pegaulan individu
dengan individu dalam masyarakat dan hubungan antar masyarakat.
Kemunculan
negara[2]
sebagai bentuk intervensi dalam masyarakat ada dua kemungkinan, yang pertama
adalah negara yang dikehendaki oleh beberapa kelompok masyarakat itu sendiri
sebagai lembaga yang akan digunakan untuk mengatur hubungan individu satu
dengan individu lain dalam masyarakat dan mengatur hubungan antar masyarakat
didalam negara tersebut. Yang kedua adalah negara dengan kemunculannya tanpa
kehendak dari beberapa kelompok masyarakat, semisal negara dengan bentuk
monarki absolut yang kemunculannya hanya dari segelintir orang. Dengan
kekuatannya, orang yang nantinya aka memimpin melakukan sebuah tindakan
penjajahan dengan kekuatannya untuk memaksakan kepada masyarakat hingga
akhirnya terciptalah sebuah negara yang tidak dikehendaki oleh beberapa
kelompok masyarakat tersebut.
Munculnya Hukum Positif
Negara
Terkait dengan hubungan antara masyarakat dan negara
dalam hal ini juga ternyata ada sebuah hukum yang mengatur didalamnya yang kita
sebut sebagai hukum negara atau hukum positif dalam sebuah negara, yang mana
ini senyatanya digunakan untuk mengatur hubungan individu dengan individu
didalam masyarakat dan antar masyarakat di dalam negara dan hubungan masyarakat
dengan negara pula. Sebagaimana kemunculan hukum yang telah dibahas diatas
(yang berawal dari adanya hubungan masyarakat atau dua individu atau lebih),
maka seharusnya pula hukum sebagai pengatur hubungan didalam kehidupan
bernegara berawal dari kehendak negara dan kehendak masyarakat yang nantinya
akan mencerminkan keadilan. Yang artinya pula seharusnya dalam penetuan hukum
negara ini adalah berangkat dari hubungan sosial antara negara dan masyarakat
(gejala sosial) baik secara sadar atau tidak sadar yang juga hukum ini adalah
dikehendaki oleh negara dan masyarakat.[3]
Yang artinya pula kedudukan antara negara dan masyarakat harus mempunyai
kedudukan yang sama dan tidak saling menindas, agar hukum yang tercipta
bukanlah sebuah bentuk hukum yang menindas dan dikehendaki oleh kedua belah
pihak (negara dan masyarakat).
Namun dalam kenyataannya negara selalu mempunyai
kedudukan dan kekuatan yang lebih besar dari pada masyarakatnya. Sehingga
sangat mungkin terjadi penindasan hukum oleh negara terhadap masyarakat yaitu
adanya pemaksaan kehendak negara
terhadap kehendak masyarakat untuk mengikuti hukum yang telah dibuat secara
sepihak oleh negara dengan tujuan mempertahankan status quo negara terhadap masyarakat. Hal inil adalah pengingkaran
terhadap esensi hukum yang telah dibahas diatas, yaitu hukum berasal dari
kesepakatan (sadar atau tidak sadar).
[1]
Dalam pandangan Marxis, ekonomi adalah sebagai Basic Structur dan hukum (salah satunya) adalah sebagai Supra Structur didalam perkembangan
masyarakat. Jelaslah bahwa hukum sebagai Supra
Structur dalam masyarakat akan mengikuti atau dipengaruhi oleh ekonomi
sebagai Basic Structur didalam
masyarakat tersebut.
[2]
Mengenai
kemunculan negara secara fakta dan pemikiran didalm buku Ilmu Negara yang
ditulis oleh Soehino tidak secara bersamaan, namun kemunculan negara secara
fakta adalah mendahului dari pemikiran tentang negara. Dalam Soehino, Ilmu Negara, 2008, Cet. Ke-8, Yogyakarta: Liberty, hal. 11.
Menurut
G. Jellinek, terjadinya negara melalui 4 tahapan (Fase) yaitu : 1). Fase
Persekutuan manusia, 2). Fase Kerajaan, 3). Fase Negara, 4). Fase Negara
demokrasi dan Diktatur. Disadur dari DimasTaufik, Asal Mula Terjadinya Negara Berdasarkan Fakta dan Teoritis, http://dhimastaufik.wordpress.com/2013/06/11/asal-mula-terjadinya-negara-berdasarkan-fakta-dan-teoritis/, diakses pada 18 Desember 2013.
Sedangkan
dalam teori kenegaran terjadinya negara berdasarkan: 1). Teori Ketuhanan
(Theokrasi), 2). Teori Kekuasaan, 3). Teori Perjanjian Masyarakat (Du Contract Sosial), 4). Teori Hukum
Alam. Disadur dari Asal Mula
Terjadinya Negara, http://fisipunsil.blogspot.com/2013/05/asal-mula-terjadinya-negara.html, diakses pada 20 Desember 2013.
[3]
Mengenai kemunculan hukum negara atau hukum positif negara akan dibahas lebih
lanjut dalam bab selanjutnya tentang Sifat
Preskriptif Hukum. Dan dalam bab ini akan dijelaskan mengenai kesalahan
dalam postulat dasar penentuan hukum negara atau hukum positif negara.