TUGAS
HUKUM PERBANKAN
“BANK
SYARIAH DAN BPRS”
NAMA
: DODI RIYANTO
NIM : E1A011111
KELAS : A
KEMENTRERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS HUKUM
PURWOKERTO
2012
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam kegiatan perekonomian
banyak cara dan komposisi dalam menjalankan kinerja produksi,konsumsi dan
distribusi oleh karena itu pikiran manusia yang semakin berkembang dan lebih
maju, maka mereka mencari sesuatu hal yang lebih mudah, praktis dan struktural.
Salah satu sarana dan prasarana untuk memudahkan
dalam kegiatan roda perekonomian yaitu dengan terciptanya lembaga-lembaga
keuangan baik yang central maupun umum. Tetapi dalam perkembangan ini banyak
pandangan yang berbeda mengenai lembaga yang mengatur masalah keuangan, yaitu
ada yang lembaga keuangan yang bersifat konvesional dan yang bersifat
islami/syariah.
Tetapi kita sebagai pelajar
yang bernotabene islam kita harus tegakkan system ekonomi yang bersifat islam
atau syariah, karena system ekonmi islam inilah yang bisa menjawab segala
permasalahan/konflik yang ada dalam perekonomian. Untuk lebih jelasnya sedikit
kami singgug tentang bagaimana proses dan cara untuk mendirikan lembaga
keuangan syariah dalam makalah kami dan kami mohon maaf apabila banyak
kekurangan, terima kasih.
Bank Perkreditan Rakyat
Syariah (BPR-Syariah) adalah salah satu lembaga keuangan perbankan syariah,
yang pola operasionalnya mengikuti prinsip–prinsip syariah ataupun muamalah
islam.
BPRS berdiri berdasarkan UU
No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan dan Peraturan Pemerintah (PP) No. 72 Tahun
1992 tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil. Pada pasal 1 (butir 4) UU No.
10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas UU No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan,
disebutkan bahwa BPRS adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan
prinsip syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas
pembayaran.
BPR yang melakukan kegiatan
usaha berdasarkan prinsip syariah selanjutnya diatur menurut Surat Keputusan
Direktur Bank Indonesia No. 32/36/KEP/DIR/1999 tanggal 12 Mei 1999 tentang Bank
Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip Syariah. Dalam hal ini, secara teknis
BPR Syariah bisa diartikan sebagai lembaga keuangan sebagaimana BPR
konvensional, yang operasinya menggunakan prinsip-prinsip syariah terutama bagi
hasil.
B. Perumusan Masalah
Dalam
makalah ini akan dirumuskan masalah sebagai berikut :
1.
Kapan dimulainya BPRS ini?
2.
Apa saja modal dari Bank Syariah, UUS, dan BPRS ?
3.
Apa sajakah kegiatan usaha dari Bank Syariah dan BPRS ?
4.
Apa sajakah produk-produk dari BPRS dan Bank Syariah ?
5.
Dari manakah sumber keuntungan BPRS dan Bank Syariah?
C. Tujuan Penulisan
Penulisan
makalah ini bertujuan untuk :
1.
Mengetahui sejarah berdirinya BPRS
2.
Mengetahui modal-modal dari BPRS dan Bank Syariah
3.
Mengetahui produk-produk dari BPRS dan Bank Syariah
4.
Mengetahui sumber-sumber keuntungan dari BPRS dan Bank Syariah
5.
Mengetahui kegiatan-kegiatan dari Bank Syariah
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Bank
adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka 3 Undang-undang Nomor
7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang
Nomor 10 Tahun 1998, yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip
syariah.[1]
Bank
Pengkreditan Rakyat adalah bank yang melaksanakan kegiatan usahannya secara
konvensional atau berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam kegiatannya tidak
memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.[2]
Kegiatan
usaha secara syariah yaitu dengan menerapkan prinsip-prinsip syariah ke dalam
operasional kegiatan usahanya. Prinsip bunga yang secara jelas dan tegas
dilarang dalam Islam digantikan dengan prinsip titipan (al-wadiah), jual beli
(al-bay’), sewa-menyewa (ijarah), bagi hasil (qiradh), dan prinsip jasa bank.[3]
Dengan
terbitnya PP No. 72 Tahun 1992 tentang bank bagi hasil yang secara tegas
memberikan batasan bahwa “bank bagi hasil tidak boleh melakukan kegiatan usaha
yang tidak berdasarkan prinsip bagi hasil” (pasal 6), maka jalannya bagi
operasional Perbankan Syariah semakin luas.[4]
BAB III
PEMBAHASAN
A. SEJARAH PERKEMBANGAN
Istilah Bank Perkreditan
Rakyat (BPR) dikenalkan pertama kali oleh Bank Rakyat Indonesia (BRI) pada
akhir tahun 1977, ketika BRI mulai menjalankan tugasnya sebagai Bank pembina lumbung
desa, bank pasar, bank desa, bank pegawai dan bank-bank sejenis lainnya. Pada
masa pembinaan yang dilakukan oleh BRI, seluruh bank tersebut diberi nama Bank
Perkreditan Rakyat (BPR).
Menurut Keppres No. 38 tahun
1988 yang dimaksud dengan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) adalah jenis bank yang
tercantum dalam ayat (1) pasal 4 UU. No. 14 tahun 1967 yang meliputi bank desa,
lumbung desa, bank pasar, bank pegawai dan bank lainnya.[5]
Status hukum Bank Perkreditan
Rakyat (BPR) pertama kali diakui dalam pakto tanggal 27 Oktober 1988, sebagai
bagian dari Paket Kebijakan Keuangan, Moneter, dan perbankan. Secara historis,
BPR adalah penjelmaan dari beberapa lembaga keuangan, seperti Bank Desa,
Lumbung Desa, Bank Pasar, Bank Pegawai Lumbung Pilih Nagari (LPN), Lembaga
Perkreditan Desa (LPD), Badan Kredit Desa (BKD), Badan Kredit Kecamatan (BKK),
Kredit Usaha Rakyat Kecil (KURK), Lembaga perkreditan Kecamatan (LPK), Bank
Karya Desa (BKPD) dan atau lembaga lainnya yang dapat disamakan dengan itu.
Sejak dikeluarkannya UU No. 7 tahun 1992 tentang Pokok Perbankan, keberadaan
lembaga-lembaga keuangan tersebut status hukumnya diperjelas melalui ijin dari
Menteri Keuangan.
Dalam perkembangan
selanjutnya perkembangan BPR yang tumbuh semakin banyak dengan menggunakan
prosedur-prosedur Hukum Islam sebagai dasar pelaksanaannya serta diberi nama
BPR Syariah. BPR Syariah yang pertama kali berdiri adalah adalah PT. BPR Dana
Mardhatillah, kec. Margahayu, Bandung, PT. BPR Berkah Amal Sejahtera, kec.
Padalarang, Bandung dan PT. BPR Amanah Rabbaniyah, kec. Banjaran, Bandung. Pada
tanggal 8 Oktober 1990, ketiga BPR Syariah tersebut telah mendapat ijin prinsip
dari Menteri Keuangan RI dan mulai beroperasi pada tanggal 19 Agustus 1991.
Selain itu, latar belakang
didirikannya BPR Syariah adalah sebagai langkah aktif dalam rangka
restrukturasi perekonomian Indonesia yang dituangkan dalam berbagai paket
kebijakan keuangan, moneter, dan perbankan secara umum.
Secara khusus mengisi peluang
terhadap kebijakan bank dalam penetapan tingkat suku bunga (rate of interest)
yang selanjutnya secara luas dikenal sebagai sistem perbankan bagi hasil atau
sistem perbankan Islam dalam skala outlet retail banking (rural bank).
UU No.10 Tahun 1998 yang
merubah UU No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan nampak lebih jelas dan tegas
mengenal status perbankan syariah, sebagaimana disebutkan dalam pasal 13, Usaha
Bank Perkreditan Rakyat. Pasal 13 huruf C berbunyi : Menyediakan pembiayaan dan
penempatan dana berdasarkan prinsip syariah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan
oleh BI.
Keberadaan BPRS secara khusus dijabarkan dalam
bentuk SK Direksi BI No. 32/34/Kep/Dir, tanggal 12 Mei 1999 tentang Bank Umum
berdasarkan Prinsip Syariah dan SK Direksi BI No. 32/36/Kep/Dir,
tertanggal 12 Mei 1999 dan Surat Edaran BI No. 32/4/KPPB tanggal 12 Mei 1999
tentang Bamk Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip Syariah.
Perkembangan bank syariah dari awal
keberadaannya hingga November 2001 terdapat 81 BPRS. BPRS tersebut
distribusi jaringan kantor tersebar pada 18 provinsi yang beradadi Indonesia.
Ada beberapa hal yang harus dipenuhi dalam pendirian BPRS :
Persyaratan Umum
1. Memperoleh izin dari Menkeu
RI dengan pertimbangan BI
2. Bentuk badan hukum BPRS,
perusahaan daerah, koperasi dan PT
3. Didirikan dan dimiliki oleh
Pemda, koperasi dan PT
4. Tempat kedudukan BPRS di
kecamatan di luar ibu kota negara, ibu kota Dati I dan Dati II
5. Wilayah pelayanan mencakup
desa – desa dan perkotaan di satu wilayah kecamatan kedudukan BPRS
B.
Modal Bank Syariah, UUS, dan BPRS
1.
Modal Bank Syariah
Demi terbangunnya fondasi yang kokoh bagi pertumbuhan
perbankan syariah, Bank Indonesia (BI) menerbitkan Peraturan Bank Indonesia
(PBI) Nomor 11/3/PBI/2009. “Keberadaan
perbankan syariah diharapkan dapat memberikan kontribusi yang optimal dalam
pembangunan ekonomi nasional,” kata
Gubernur BI Boediono.[6]
Salah satu poin pokok dalam peraturan itu adalah permodalan bank
syariah. Untuk bisa mendirikan bank umum syariah, BI
menetapkan nilai modal disetor paling kecil Rp. 1.000.000.000.000,- (satu
triliun). Adapun kepemilikan asing hanya boleh paling
banyak 99 persen dari modal disetor. BI juga baru akan mengeluarkan
persetujuan prinsip jika pemilik bank sudah menyetorkan 30 persen dari
modal yang diwajibkan.
Belajar dari krisis ekonomi pada tahun 1997, BI agaknya tidak ingin
industri syariah ini gampang goyah terkena hantaman krisis finansial global
yang terjadi sekarang. Karena itu, BI mengeluarkan PBI ini meskipun tahun lalu
pertumbuhan perbankan syariah belum memuaskan.
Hingga akhir November 2008, nilai total aset perbankan syariah baru Rp 47,18
triliun. Itu sangat jauh dari target yang dipatok BI
sebelumnya, yakni Rp 91 triliun. Merujuk ke
pencapaian tersebut, tahun ini BI hanya mematok target pertumbuhan moderat,
yakni aset bank syariah tumbuh ke kisaran Rp 80 triliun-Rp 90
triliun.
2.
Modal UUS
Modal yang harus dimiliki oleh lembaga keuangan yang berbentuk Unit Usaha
Syariah adalah 100
milyarseperti yang tertuang dalam PBI No 11/10 tahun
2009 tentang UUS , dan khusus
untuk spin off UUS, BI hanya
akan mewajibkan modal dasar Rp 500 miliar yang harus dimiliki oleh UUS untuk proses spin
of UUS menjadi BUS.
Tetapi Menurut Mantan Ketua Umum Asosiasi Bank Syariah Indonesia
(Asbisindo) Wahyu Dwi Agung menyampaikan, bahwa ada dua aspek positif dan
negatif terhadap regulasi modal UUS minimal sebesar Rp100 miliar, yakni pemodal kesulitan memenuhinya, sedang
dampak positifnya usaha syariah akan lebih ekspansif dengan modal yang besar.
C. Modal BPRS
1.Modal yang harus disetor untuk
mendirikan BPRS ditetapkan sekurang – kurangnya sebesar:
a. Rp 2.000.000.000,- (dua milyar) untuk BPRS yang didirikan di wilayah
daerah khusus ibukota Jakarta Raya dan kabupaten /
kotamadya Tangerang, Bogor, Bekasi, dan Karawang.
b. Rp 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah) untuk BPRS yang didirikan di
wilayah ibukota propinsi di luar wilayah seperti tersebut
pada butir huruf a.
c. Rp 500.000.000,- (lima ratus juta) untuk BPRS yang didirkan di
luar wilayah yang disebut pada butir huruf a
dan b.[7]
Modal yang disetor tersebut,
yang digunakan untuk modal kerja bagi BPRS, wajib sekurang – kurangnya
berjumlah 50%. Dengan kata lain, nilai investasi dalam rangka pendirian BPRS
itu tidak boleh melebihi 50% dari modal yang disetor oleh pendirinya. Sumber
dana yang digunakan dalam rangka kepemilikan dilarang:
1. Berasal dari pinjaman atau fasilitas
pembiayaan dalam bentuk apapun dari Bank dan atau pihak lain di Indonesia.
2. Berasal dari sumber yang diharamkan
menurut prinsiip syariah adalah termasuk kegiatan – kegiatan yang melanggar hukum.
C. KEGIATAN USAHA
melaksanakan usaha-usaha sebagai berikut:
1. Menghimpun dana dari
masyarakat dalam bentuk simpanan berupa deposito berjangka, tabungan dan atau
bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu.
2. Melakukan penyaluran dana
melalui
a. Transaksi jual beli
berdasarkan perinsip :
1. Murabahah ( bagi hasil)
2. Istihsna (sewa dengan pilihan)
3. Ijarah (sewa murni tanpa pilihan
4, Saham
5. Jual beli lainnya.
b. Pembiayaan bagi hasil
dengan prinsip:
1. Mudharabah
2. Musyarakah
3. Bagi hasil lainnya.
c. Pembiayaan bagi hasil
berdasarkan prinsip:
1. Rahn
2. Qardh
3. Menyediakan pembiayaan dan
penempatan dana berdasarkan prinsip syariah sesuai dengan ketentuan yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia.
4. Memberikan kredit.
5. Menempatkan dananya dalam
bentuk Sertifikat Bank Indonesia, deposito berjangka, sertifikat deposito, dan
atau tabungan pada bank lain.
KEGIATAN YANG DILARANG (Berdasarkan pasal 14
UU No.17 tahun 1992)
1. Menerima simpanan dalam
bentuk giro dan ikut serta dalam lalu lintas pembayaran
2. Melakukan kegiatan usaha
dalam bentuk valuta asing
3. Melakukan penyertaan modal
4. Melakukan usaha perasuransian
5. Melakukan usaha lain di luar
kegiatan usaha sebagaimana disebutkan pada kegiatan usaha yang boleh dilakukan
oleh BPRS
D. PRODUK-PRODUK
BPR SYARIAH
Produk-produk yang ditawarkan BPR Syariah
secara garis besar adalah :
a. Mobilisasi Dana Masyarakat
Bank akan mengerahkan dana masyarakat dalam
berbagai bentuk seperti menerima simpanan wadi’ah, adanya
fasilitas tabungan dan deposito berjangka. Fasilitas ini dapat digunakan untuk
menitip shadaqah, infaq, zakat, persiapan ongkos naik haji (ONH), dll.
- Simpanan amanah
Bank menerima titipan amanah berupa dana infaq,
shadaqah dan zakat. Akan penerimaan titipan ini adalahwadi’ah yakni titipan yang tidak
menanggung resiko. Bank akan memberikan kadar profit dari bagi hasil yang
didapat melalui pembiayaan kepada nasabah.
- Tabungan wadi’ah
Bank menerima tabungan pribadi maupun badan
usaha dalam bentuk tabungan bebas. Akad penerimaan yang digunakan sama yakni wadi’ah. Bank akan memberikan kadar profit kepada nasabah yang dihitung harian
dan dibayar setiap bulan.
- Deposito wadi’ah /
deposito mudharaba
Bank menerima deposito berjangka pribadi maupun
badan usaha. Akad penerimaannya wadi’ah ataumudharabah, dimana bank menerima dana yang digunakan sebagai penyertaan sementara
dalam jangka 1 bulan, 3 bulan, 6 bulan, 12 bulan, dst. Deposan yang menggunakan
akad wadi’ah mendapat
nisbah bagi hasil keuntungan lebih kecil dari mudharabah bagi hasil yang diterima dalam pembiayaan nasabah setiap
bulan.
b. Penyaluran Dana
- Pembiayaan mudharabah
Perjanjian antara pemilik dana (pengusaha)
dengan pengelola dana (bank) yang keuntungannya dibagi menurut rasio sesuai
dengan kesepakatan. Jika mengalami kerugian maka pengusaha menanggung kerugian dana,
sedangkan bank menanggung pelayanan materiil dan kehilangan imbalan kerja.
- Pembiayaan musyarakah
Perjanjian antara pengusaha dengan bank, dimana
modal kedua pihak digabungkan untuk sebuah usaha yang dikelola bersama-sama.
Keuntungan dan kerugian ditanggung bersama sesuai kesepakatan awal.
- Pembiayaan bai bitsaman ajil
Proses
jual beli antara bank dan nasabah, dimana bank menalangi lebih dulu pembelian
suatu barang oleh nasabah, kemudian nasabah akan membayar harga dasar barang
dan keuntungan yang disepakati bersama.
- Pembiayaan murabahah
Perjanjian antara bank dan nasabah, dimana bank menyediakan
pembiayaan untuk pembelian bahan baku atau modal kerja yang dibutuhkan nasabah,
yang akan dibayar kembali oleh nasabah sebesar harga jual bank (harga beli bank
plus margin keuntungan saat jatuh tempo).
- Pembiayaan qardhul hasan
Perjanjian
antara bank dan nasabah yang layak menerima pembiayaan kebajikan, dimana
nasabah yang menerima hanya membayar pokoknya dan dianjurkan untuk memberikan
ZIS.
- Pembiayaan Istishna’
Pembiayaan
dengan prinsip jual beli, dimana BPRS akan membelikan barang kebutuhan nasabah
sesuai kriteria yang telah ditetapkan nasabah dan menjualnya kepada nasabah
dengan harga jual sesuai kesepakatan kedua belah pihak dengan jangka waktu
serta mekanisme pembayaran/pengembalian disesuaikan dengan kemampuan/keuangan
nasabah.
- Pembiayaan Al-Hiwalah
Penggambil
alihan hutang nasabah kepada pihak ketiga yang telah jatuh tempo oleh BPRS,
dikarenakan nasabah belum mampu untuk membayar tagihan yang seharusnya
digunakan untuk melunasi hutangnya. Pembiayaan ini menggunakan prinsip
pengambil alihan hutang, dimana BPRS dalam hal ini akan mendapatkan ujroh/ fee
dari nasabah yang besar dan cara pembayarannya berdasarkan kesepakatan kedua
belah pihak.
c. Jasa Perbankan
Lainnya
Secara
bertahap bank akan menyediakan jasa untuk memperlancar pembayaran berupa proses
transfer dan inkaso, pembayaran rekening air, listrik, telepon, angsuran KPR,
dll. Bank juga mempersiapkan bentuk pelayanan berupa dana talang berdasarkan
pembiayaan bai
salam.
E. Sumber Keuntungan Bank Syariah
Sumber
keuntungan bank syariah atau sumber dana bank Syariah itu terdiri dari :
(1) Modal inti (core
capital)
(2) Kuasi ekuitas (mudharabah account) dan
(3) Titipan (wadiah) atau simpanan tanpa imbalan (non remunerated deposit).
(2) Kuasi ekuitas (mudharabah account) dan
(3) Titipan (wadiah) atau simpanan tanpa imbalan (non remunerated deposit).
1. Modal Inti
Modal inti adalah dana modal sendiri yaitu dana yang berasal dari para
pemegang saham bank, yakni pemilik bank. Pada umumnya dana modal inti terdiri
dari:
a. Modal yang disetor oleh para pemegang saham;
Sumber utama dari modal perusahaan adalah saham. Sumber dana ini hanya akan timbul apabila pemilik menyertakan dananya pada bank melalui pembelian saham, dan untuk penambahan dana berikutnya dapat dilakukan oleh bank dengan mengeluarkan dan menjual tambahan saham baru.
b. Cadangan,
yaitu
sebagian laba bank yang tidak dibagi, yang disisihkan untuk menutup timbulnya resiko kerugian di kemudian hari;
c. Laba ditahan,
c. Laba ditahan,
yaitu sebagian laba yang seharusnya dibagikan kepada para pemegang saham, tetapi oleh para pemegang saham sendiri (melalui
Rapat Umum Pemegang Saham) diputuskan untuk ditanam kembali dalam bank. Laba
ditahan ini juga merupakan cara untuk menambah dana modal lebih lanjut.
2. Kuasi Ekuitas (mudharabah account)
Bank menghimpun dana berbagi hasil atas dasar prinsip mudharabah, yaitu
akad kerjasama antara pemilik dana (shahib al maal) dengan pengusaha (mudharib)
untuk melakukan suatu usaha bersama, dan pemilik dana tidak boleh mencampuri
pengelolaan bisnis sehari-hari. Keuntungan yang diperoleh dibagi antara
keduanya dengan perbandingan (nisbah) yang telah disepakati sebelumnya.
Kerugian finansial menjadi beban pemilik dana sedangkan pengelola tidak
memperoleh imbalan atas usaha yang dilakukan.
Berdasarkan
prinsip ini, dalam kedudukannya sebagai mudharib, bank menyediakan jasa bagi
para investor berupa :
1. Rekening
investasi umum, dimana bank menerima simpanan dari
nasabah yang mencari kesempatan investasi atas dana mereka dalam bentuk
Investasi berdasarkan prinsip mudharabah mutlaqah (unresrtricted investment
account). Simpanan diperjanjikan untuk jangka waktu tertentu. Bank dapat
menerima simpanan tersebut untuk jangka waktu 1, 3, 6, 12, 24 bulan dan
seterusnya. Dalam hal ini bank bertindak sebagai Mudharib dan nasabah bertindak
sebagai Shahib al Maal, sedang keduanya menyepakati pembagian laba (bila ada)
yang dihasilkan dari penanaman dana tersebut dengan Nisbah tertentu. Dalam hal
terjadi kerugian, nasabah menanggung kerugian tersebut dan bank kehilangan
keuntungan.
2. Rekening
investasi khusus, di mana bank bertindak sebagai manajer
investasi bagi nasabah institusi (pemerintah atau lembaga keuangan lain) atau
nasabah korporasi untuk menginvestasikan dana mereka pada unit-unit usaha atau
proyek-proyek tertentu yang mereka setujui atau mereka kehendaki. Rekening ini
dioperasikan berdasarkan prinsip mudharabah muqayyadah (restricted investment
account). Bentuk investasi dan nisbah pembagian keuntungannya biasanya
dinegosiasikan secara kasus per kasus.
3. Rekening
Tabungan Mudharabah, Prinsip mudharabah juga digunakan
untuk jasa pengelolaan rekening tabungan. Salah satu syarat mudharabah adalah
bahwa dana harus dalam bentuk uang (monetary form), dalam jumlah tertentu dan
diserahkan kepada mudharib. Oleh karena itu tabungan mudharabah tidak dapat
ditarik sewaktu-waktu sebagaimana tabungan wadi’ah. Dengan demikian tabungan
mudharabah biasanya tidak diberikan fasilitas ATM, karena penabung tidak dapat
menarik dananya dengan leluasa. Dalam aplikasnya bank syari’ah melayani
tabungan mudharabah dalam bentuk targeted saving, seperti tabungan korban,
tabungan haji atau tabungan lain yang dimaksudkan untuk suatu pencapaian target
kebutuhan dalam jumlah dan atau jangka waktu tertentu.
Tidak
seperti bank konvensional, Bank Syariah tidak menjamin pembayaran kembali nilai
nominal dari investasi mudharabah. Bank Syariah juga tidak menjamin keuntungan
atas investasi mudharabah. Mekanisme pengaturan realisasi pembagian keuntungan
final atas investasi mudharabah tergantung pada performance dari bank,
berlainan dengan bank konvensional yang menjamin keuntungan atas deposito
berdasarkan tingkat bunga tertentu dengan mengabaikan performancenya.
3. Dana Titipan (wadiah /
non remunerated deposit)
Dana titipan adalah dana pihak ketiga yang dititipkan pada bank, yang
umumnya berupa giro atau tabungan. Pada umumnya motivasi utama orang menitipkan
dana pada bank adalah untuk keamanan dana mereka dan memperoleh keleluasaan
untuk menarik kembali dananya sewaktu-waktu.
1. Rekening Giro wadi’ah
Bank Islam dapat memberikan jasa simpanan giro dalam bentuk rekening
wadi’ah. Dalam hal ini bank Islam menggunakan prinsip wadiah yad dhamanah.
Dengan prinsip ini bank sebagai custodian harus menjamin pembayaran kembali
nominal simpanan wadiah. Dana tersebut dapat digunakan oleh bank untuk kegiatan
komersial dan bank berhak atas pendapatan yang diperoleh dari pemanfaatan harta
titipan tersebut dalam kegiatan komersial. Pemilik simpanan dapat menarik
kembali simpanannya sewaktu-waktu, baik sebagian atau seluruhnya. Bank tidak
boleh menyatakan atau menjanjikan imbalan atau keuntungan apapun kepada
pemegang rekening wadiah, dan sebaliknya pemegang rekening juga tidak boleh
mengharapkan atau meminta imbalan atau keuntungan atas rekening wadiah. Setiap
imbalan atau keuntungan yang dijanjikan dapat dianggap riba. Namun demikian
bank, atas kehendaknya sendiri, dapat memberikan imbalan berupa bonus (hibah)
kepada pemilik dana. (pemegang rekening wadiah).
Ciri-ciri
giro wadiah adalah sebagai berikut:
a.Bagi pemegang rekening disediakan cek untuk mengoperasi kan rekeningnya;
b.Untuk membuka rekening diperlukan surat referensi nasabah lain atau pejabat bank, dan menyetor sejumlah dana minimum (yang ditentukan kebijaksanaan masing-masing bank) sebagai setoran awal;
c.Calon pemegang rekening tidak terdaftar dalam daftar hitam Bank Indonesia;
d.Penarikan dapat dilakukan setiap waktu dengan cara menyerahkan cek atau instruksi tertulis lainnya;
e.Tipe rekening:
- Rekening perorangan,
-
Rekening pemilik tunggal,
-
Rekening bersama (dua orang individu atau lebih),
- Rekening
organisasi atau perkumpulan yang tidak berbadan hukum,
-
Rekening perusahaan yang berbadan hukum,
-
Rekening kemitraan,
-
Rekening titipan;
f. Servis lainnya :
- Cek istimewa,
- Instruksi siaga (standing instruction),
- Transfer dana otomatis;
- Kepada pemegang rekening akan diberikan salinan rekening (statement of account) dengan rincian transaksi setiap bulan;
- Konfirmasi saldo dapat dikirimkan oleh bank kepada pemegang rekening setiap enam bulan atau periode yang dikehendaki oleh pemegang rekening.
- Instruksi siaga (standing instruction),
- Transfer dana otomatis;
- Kepada pemegang rekening akan diberikan salinan rekening (statement of account) dengan rincian transaksi setiap bulan;
- Konfirmasi saldo dapat dikirimkan oleh bank kepada pemegang rekening setiap enam bulan atau periode yang dikehendaki oleh pemegang rekening.
· Rekening tabungan wadiah
Prinsip wadiah yad dhamanah ini juga dipergunakan oleh bank dalam mengelola
jasa tabungan, yaitu simpanan dari nasabah yang memerlukan jasa penitipan dana
dengan tingkat keleluasaan tertentu untuk menariknya kembali. Bank memperoleh
izin dari nasabah untuk menggunakan dana tersebut selama mengendap di bank.
Nasabah dapat menarik sebagian atau seluruh saldo simpanannya sewaktu-waktu
atau sesuai dengan perjanjian yang disepakati. Bank menjamin pembayaran kembali
simpanan mereka. Semua keuntungan atas pemanfaatan dana tersebut adalah milik
bank, tetapi, atas kehendaknya sendiri, bank dapat memberikan imbalan
keuntungan yang berasal dari sebagian keuntungan bank. Bank menyediakan buku
tabungan dan jasa-jasa yang berkaitan dengan rekening tersebut.
Ciri-ciri rekening tabungan wadi’ah adalah
sebagai berikut :
a. Menggunakan buku (passbook) atau kartu ATM;
b. Besarnya setoran pertama dan salbo minimum yang harus mengendap, tergantung pada kebijakan masing-masing bank;
c. Penarikan tidak dibatasi, berapa saja dan kapan saja;
d. Tipe rekening :
- Rekening perorangan,
- Rekening bersama (dua orang atau lebih),
- Rekening organisasi atau perkumpulan yang tidak berbadan hukum,
- Rekening perwalian (yang dioperasikan oleh orang tua atau wali dari pemegang rekening),
- Rekening jaminan (untuk menjamin pembiayaan);
e. Pembayaran bonus (hibah) dilakukan dengan cara mengkredit rekening tabungan.
a. Menggunakan buku (passbook) atau kartu ATM;
b. Besarnya setoran pertama dan salbo minimum yang harus mengendap, tergantung pada kebijakan masing-masing bank;
c. Penarikan tidak dibatasi, berapa saja dan kapan saja;
d. Tipe rekening :
- Rekening perorangan,
- Rekening bersama (dua orang atau lebih),
- Rekening organisasi atau perkumpulan yang tidak berbadan hukum,
- Rekening perwalian (yang dioperasikan oleh orang tua atau wali dari pemegang rekening),
- Rekening jaminan (untuk menjamin pembiayaan);
e. Pembayaran bonus (hibah) dilakukan dengan cara mengkredit rekening tabungan.
Bank Syariah tidak
memperjanjikan bagi hasil atas tabungan wadiah, walaupun atas kemauannya
sendiri bank dapat memberikan bonus kepada para pemegang rekening wadiah.
2. Penggunaan Dana Bank
Bank
harus mempersiapkan strategi penggunaan dana-dana yang dihimpunnya sesuai
dengan rencana alokasi berdasarkan kebijakan yang telah digariskan. Alokasi ini
mempunyai beberapa tujuan yaitu :
1.Mencapai
tingkat profitabilitas yang cukup dan tingkat resiko yang rendah
2.Mempertahankan kepercayaan masyarakat dengan menjaga agar posisi likuiditas tetap aman.
2.Mempertahankan kepercayaan masyarakat dengan menjaga agar posisi likuiditas tetap aman.
Untuk
mencapai kedua keinginan tersebut maka alokasi dana-dana bank harus diarahkan
sedemikian rupa agar pada saat diperlukan semua kepentingan nasabah dapat
terpenuhi.
Alokasi penggunaan dana bank
syariah pada dasarnya dapat dibagi dalam dua bagian penting dari aktiva bank,
yaitu:
(1)Earning Assets (aktiva yang menghasilkan) dan
(2) Non Earning Assets (aktiva yang tidak menghasilkan)
(1)Earning Assets (aktiva yang menghasilkan) dan
(2) Non Earning Assets (aktiva yang tidak menghasilkan)
Earning Assets adalah berupa
investasi dalam bentuk:
a. Pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (Mudharabah);
b. Pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan (Musyarakah);
c. Pembiayaan berdasarkan prinsip jual beli (Al Bai’);
d. Pembiayaan berdasarkan prinsip sewa (Ijarah dan Ijarah wa Iqtina/Ijarah Muntahiah bi Tamlik);
e. Surat-surat berharga syariah dan investasi lainnya.
a. Pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (Mudharabah);
b. Pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan (Musyarakah);
c. Pembiayaan berdasarkan prinsip jual beli (Al Bai’);
d. Pembiayaan berdasarkan prinsip sewa (Ijarah dan Ijarah wa Iqtina/Ijarah Muntahiah bi Tamlik);
e. Surat-surat berharga syariah dan investasi lainnya.
Fungsi
penggunaan dana yang terpenting bagi bank komersil adalah fungsi pembiyaan.
Portfolio pembiayaan pada bank komersil menempati porsi terbesar, pada umumnya
sekitar 55% sampai 60% dari total aktiva. Tingkat penghasilan dari pembiayaan
(yield on financing) merupakan tingkat penghasilan tertinggi bagi bank. Sesuai dengan
karakteristik dari sumber dananya, pada umumnya bank komersil memberikan
pembiayaan berjangka pendek dan menengah, meskipun beberapa jenis pembiayaan
dapat diberikan dengan jangka waktu yang lebih panjang. Tingkat penghasilan
dari setiap jenis pembiayaan juga bervariasi, tergantung pada prinsip
pembiayaan yang digunakan dan sektor usaha yang dibiayai.
BAB IV
PENUTUP
Kesimpulan
Bank Perkerditan Rakyat Syariah
(BPRS) merupakan suatu bank yang beroperasi dengan prinsip syariah dimana dalam
usahanya bank tersebut tidak menggunakan istilah bunga melainkan dengan
menggunakan istilah bagi hasil.
Bank yang beroperasi dalam lingkup
Islam ini mempunyai beberapa kegiatan yakni seperti, menghimpun dana dari
rakyat yang meliputi, tabungan, deposito berjangka, dan bentuk lain yang
menggunakan prinsip wadi’ah. Melakukan penyaluran dana melalui transaksi jual
beli, pembiayaan bagi hasil berdasarkan prinsip mudharabah, musyarakah, seta
pembiayaan bagi hasil berdasarkan prinsip rahn, dan qardh.
Sumber modal bank ini juga terdiri
dari 3 yaitu
1.
Modal
inti
2.
Kuasi
Ekuitas (mudharabah account)
3.
Rekening
tabungan mudharabah
Bank Islam dapat memberikan jasa
simpanan giro dalam bentuk rekening wadi’ah. Dalam hal ini bank Islam
menggunakan prinsip wadiah yad dhamanah. Dengan prinsip ini bank sebagai
custodian harus menjamin pembayaran kembali nominal simpanan wadiah.
Daftar Pustaka
Ansori,
Abdul Ghofur, 2007. Perbankan Syariah Di
Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
Salami,
Rohani Urip, Hand Out Hukum Perbankan
http://hendrakholid.net/blog/2009/10/21/proses-berdirinya-bs-uus-dan-bprs/
[1]
Peraturan Bank Indonesia No. 6/24/PBI/2004 tentang Bank Umum yang Melakukan
Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah.
[2]
Undang undang No 10 Tahun 1998 tentang Perbankan
[3]
Abdul Ghofur Ansori, 2007. Perbankan Syariah Di Indonesia. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press, hal 41
[4]
Muhamad, 2003. Bank Syariah: Analisis
Kekuatan, Kelemahan, Peluang dan Ancaman. Yogyakarta: Ekonisia, hal 59
[5]Keppes
No. 38 tahun 1998
[7]
Rohani Urip Salami, “Hand Out Hukum
Perbankan”.